Ketika Mas Gagah Pergi

Selasa, 25 Desember 2007

untuk pertama kali membaca cerpen ini aku tak dapat menahan tangis...banjir..
kedua, ketiga ,keempat tetap sama..bahkan untuk kelima kalinya...ketika kubacakan untuk ade2 SMU binaan ku..plus iringan musik kitaro dari laptope ku...aku tetap tak dapat menahan tangis menangis...
subhanalah..mba helvy..isi cerpennya dalem buanget...mudah2an ade2 jadi sadar berjilbab...setelah kajian paling sendu tempo hari..amiiin


Oleh : Helvi Tyana Rosa
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligussaudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semestertujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentusaja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiridari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antarakami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saataku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih.Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendekkata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berartibanyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada sajasedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama.Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercandadengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuatlelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak.Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulangusai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu direstoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga,nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahkusuka membanding-bandingk an teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila,berabe kan?!”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Akucuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar.Apa jawabnya?
“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Maspacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati!He..he..he…”Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Iapunya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Iamoderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulanbelakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenaldirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakankini entah kemana…
“Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh! ” teriakku kesal sambil mengetukpintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama,Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamarMas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi akubisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikum! “seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kokteriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya!”kataku sewot.
“Lho memangnya kenapa?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kitaorang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukanhal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata MasGagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek..,Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supplyyang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasaIndonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambilmembanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagahjadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen,Eric Claptonnya?”
“Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Claptonbelum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengannasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Maspunya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyakmalah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukupjeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktuberjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku isengmengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca bukuIslam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hatimenguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau
kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rokatau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapainsih rambut ditrondolin begitu!”
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yangtomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itusaja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam bajukaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukanGita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering jugaMama menegurnya.
“Penampilanmu kok sekarang lain Gah?”
“Lain gimana Ma?”
“Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan palingsibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana.Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengankemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjangsemi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengansupir kami. “Untung aja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagahlebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocakseperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercandasama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawatisebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikirapa sih maunya Mas Gagah?”
“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye?Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari.“Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”
“Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya,lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orangSunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawaorang Sunda. Apa hubungannya? “
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.”Baca! “
Kubaca keras-keras. “Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demiAllah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanitakecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”
Mas Gagah tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, UstadzAli…,”kataku.
“Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata MasGagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyorpergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia laginuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orangsok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani mendugademikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya barudua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan akuyakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini diaberubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
“Mau kemana Gita?”
“Nonton sama temen-temen. ” Kataku sambil mengenakan sepatu.”Habis MasGagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”
“Ikut Mas aja yuk!”
“Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang begodi sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku keRumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiritablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin samacewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana denganmemakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belumlagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagahmenyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakaingaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
“Assalamualaikum! ” terdengar suara beberapa lelaki. Mas Gagahmenjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya diruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk,lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
“Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?”tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang,Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahalteman-temannya lumayan handsome. Mas Gagah menempelkan telunjuknya dibibir. “Ssssttt.”
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomonginsoal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaabegitu deh!
“Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Tika setengahhisteris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampirsebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you cansee-nya.
“Ikhwan?’ ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?”Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirikkami.
“Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinyasaudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Tikasambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa kan?Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji.Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini.Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orangyang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik danbenar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yangdulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
“Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kitatetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujarTika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…” katakujujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Akusenang kamu mau embicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk,biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
“Mbak Ana?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malahpakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
“Hidayah.”
“Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!”“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!” tegurku ramah. ‘Eh adikMas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!”Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain,Mas?”tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster,kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia.Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu duarak koleksi buku keislaman…
“Cuma lagi baca!”
“Buku apa?”
“Tumben kamu pingin tahu?”
“Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?”desakku.
“Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya. Kugelitikkakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih!”serunya memperlihatkan bukuyang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
“Naah yaaaa!”aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-samamembaca buku “Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.
“Maaas…”
“Apa Dik Manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, iaberbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yangdiabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di duniayang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentanghal-hal-lainnya. Dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahkuyang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaatsambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh.Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecahbelah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadahdengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedangdigorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur berataplangit.”
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyatasangat perasa. Sangat peduli…
“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
“Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah
menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya akudapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu.Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yangdulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo,mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbardigelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikitterpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
“Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu.Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku. Biasanya Papa hanya mencubitpipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Akusempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah.Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan.Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sanaada dalil-dalil
mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalananpulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahandalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dankemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agaraku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulaibisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggakcekakaan. “Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebihdicintai Allah kayak Mama.”
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihatiterus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, jugadikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimanadengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepatsekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
“Ini hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliausenyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gitapakai rok aja udah hidayah.
“Lho! ” Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggakbangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umumini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada diantara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan MasGagah-ku!”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yangdibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua heningmendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayatQuran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas.Aku sempat bingung, “Lho Mas Gagah kok bisa sih?” Bahkan materi yangdisampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyaikondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dantantangannya dalam era globalisasi. “Betapa Islam yang jelas-jelasmengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanyakarena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagaiidentitas
Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islamitu sendiri, ” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumahTika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempathisteris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nantisore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnyamemakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untukpersiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku. Kubayangkan ia akanterkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang membericeramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundangteman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu MasGagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang. ” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep diRumah temannya, atau di Mesjid. “
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini.”Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangensekali sama Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa. Tanganku sibukmerapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluhmalam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma.” Duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belumjuga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatkumemakainya.
“Kriiiinggg! ” telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,”Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?”
“Ada apa, Pa.” Tanya Mama cemas.
“Gagah…kecelakaan… Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaahhhh! !!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas. Tak lama kamisudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangisberangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki,tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah trukmenghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewasseketika sedang Mas Gagah kritis. Dokter melarang kami masuk ke dalamruangan.
” Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat sayapakai jilbab ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yangkhusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku.“Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Airmataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuandinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yangbiasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yangmanis. Mas..Gagah…” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICUkini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yangmenunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terusberdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh MasGagah…umat juga.”
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Iasudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi..”
“Gita…” suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya.Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.”Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskanharapanku!.
“Mas…ini Gita Mas..” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkansesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab,kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir…Mas.” Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagahyang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi..ta…” Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
“Gita di sini, Mas…”Perlahan kelopak matanya terbuka.
“Aku tersenyum.”Gita… udah pakai…jilbab…” kutahan isakku. Memandangkulembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatuseperti hamdallah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat iaberusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidakbisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaatkulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemuiMas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkankami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapisebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisamendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengansenyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. “Sebut nama Allahbanyak-banyak… Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudahpasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup,tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan MasGagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yangterbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa. .llah…Muham… mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagahpelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyummenghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dinginitu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kamirela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhirongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh,ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku.Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dikmanis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini.Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanyatiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamaryang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”
“Kok nanya gitu sih?”
“Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?”
“Ganteng kan?”
“Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong, jihad itu…”
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu.Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamatjalan Mas Gagah!
wassalam,

Saat Rapuh

Minggu, 23 Desember 2007

Alloh malam ini ku bersimpuh di hadapanMu….
Paparkan kesal dalam jiwaku…..
Yang hanya pantas ku ungkapkan kepadaMu..
Alloh terimalah display isi hati ini…
Betapa lemah kekuatan diri hamba..
Tuk taklukan sgala ambisi....

Alloh ku ketuk pintu ampunan dan kasih sayangMu…
Yang luas membentang tiada halang timur barat..
Tiada penghalang IradahMu atas diriku.....
Alloh dalam dingin berselimut malam yang indah....
Ku tuju pintuMu..tuk memohon karuniaMu..
Bukalah ya Alloh RidhoMu...

(by : Suara persaudaraan)

Sadar....aku sudah tersadar ya Rabb...

Aku telah salah..aku jatuh di titik paling lemah…hati ini sedang sakit… aku ingin segera sembuh dan mengobatinya….hari ini aku benar-benar terhujam….kata-kata seorang sahabat segera menyadarkanku…kehadirannya bagaikan benalu dihatiku...ia hampir mengikis habis imanku…ia merapuhkan benteng pertahananku…aku lemah…sangat lemah bahkan..Tapi,,,aku takkan berdiam..diri..

Aku berusaha merangkak naik …dan berdiri tegap kembali…
Ampuni aku Duhai Ghoffur….Aku telah menyimpannya dalam hati...Harapan itu muncul dengan sendirinya..Rabb berikan yang terbaik dari sisiMu...Jiwaku mulai kehilangan kekuatannya...Dinding pertahanannya mulai merapuh...aku tidak ingin kehilangan seluruh kekuatan itu,,,.aku juga tidak iingin meruntuhkan bangunan hati yang telah ku tata bertahun-tahun bersama Murabbi ku...

Ya Fatih…berikan kekuatan untuk hati ku…
Agar tetap kuat & suci dalam pengembaraan belantara kehidupan…
Hatiku rapuh dan butuh penopang dari sisiMu..
Rabb…tolong ajari aku cinta…Jika suatu saat aku jatuh cinta, maka jangan biarkan cinta itu melebihi cinta ku padaMu...
Rabb…bantu diri ini tuk bisa menjaga fitrah hati….Selamatkan hati ini…


Duhai zat yang menggenggam hati ini, yang maha membolak-balikkan hati…
Tetapkan hati ini pada Diin Mu yang lurus...
Jangan biarkan hati ini terpuruk, usang dan tak lagi merasakan betapa ”hina”nya..
Sebuah kesalahan & kelalaian meskipun kecil dan tak terlihat oleh mata...
Naudzubillahi min ndzalik...


Juli 2006, saat hati terhipnotis kesemuan harapan yg dibangun olehnya.

~ Saat Terkenang Kembali...~


~ Saat Terkenang Kembali ~

Menyesal…benar2 menyesal, hampir satu bulan aku benar-benar malas menulis…diaryku kosong…bolong..Duh…..bgtu banyak kisah yang tak terabadikan lewat coretan manisku..hanya termemory dalam ingatan…Tp malam ini aku takkan mengosongkannya…..

Mengawali hari ini dengan membantu mama untuk sekian bungkusan ”tiwul ’...yang akan segera dijualnya pagi ini...ya..”tiwul” makanan ndeso itu jd salahsatu menjadi sumber penghasilan mama, seorang wanita paling perkasa yang punya andil besar dlm hidupku...
Ya..aku bangga masih bisa membantunya pagi ini sebelum masuk kuliah jam 7:30 wib.
Walau harus rela kehilangan majlis ilmu di mushola kampusku pagi ini...
Nevermind...bukannkah ”birulwalidain” harus diutamakan???...

Truss...perjalananku ke kampus pagi ini disambut anak2 yang berseragam merah putih di sepanjang kanan dan kiri jalan....semarak!!! dgn kibaran bendera2 kecil di tangan2 mungil mereka....rame banget!!! Mereka smua menentikan kehadiran Yusuf Kalla .....
Demi sang wakil presiden merek rela berjam-jam berdiri di kanan kiri jalan...........

Aku jadi senyum2 sendiri.....teringat 12 thn yang lalu...aku sama dgn mereka : menanti kehadiran sang presiden ”Suharto” hingga 4 jam menanti di pinggir jalan....begitu melelahkan. Tapi anehnya lelah tsb seketika hilang ketika melihat sunggingan senyum Suharto walau hanya dari balik sedan hitamnya...hanya 20 detik, mampu melenyapkan lelah dan kesal...AJAIB…Subhanallah!

Dan ternyata waktu begitu cepat bergulir...kini aku dah ”gede” kayak gini, ga pake seragam lagi seperti mereka...:) satu masa (anak-anak) telah kulalui...dan ga kan beulang...hiks..hiks...

Dan SUPRISE!!!!...diantara tubuh2 mungil tsb..ada seorang yg begitu semangat...berteriak menyapaku.... dan tau ga? Saking semangat dan bahagianya aku sempet lupa klo dah ”hijrah”..tanpa memberhentikan motorku...aku segera berteriak dgn suara yg lbh lantang : ” bang Izul!!!!!, pa kbr??” J

ya...alhamdulillah...Alloh mempertemukanku dengan bang Izul ku, seorang yg telah mengajariku banyak hal tentang hidup...dulu. Orang yg sangat mudah menyapa dan senyumnya slalu bisa membangkitkan semangat orang-orang di sekitarnya. Seperti hari ini ada semangat baru yang beliau berikan..begitu sederhana dan dewasa tapi di sisi lain beliau sangat lucu dan slalu menghidupkan suasana. Aku begitu kagum dgn sosoknya. Sangat bersahaja. Kesederhanaannya mengajarkanku tentang banyak hal. Alhamdulillah aku bangga, akhirnya berhasil menjadi seorang guru. Bang izul adalah salah satu sahabat di antara 6 sahabat ”teletubies”ku (laki2 smua)...kami sama2 aktif di Pramuka. Tapi, semenjak aku kuliah dan memutuskan ”hijrah”, aku berusaha menjaga izzahku sebagai muslimah. Perlahan dan pasti aku mulai menjaga jarak dengan mereka...hingga akhirnya lama bgt ga ketemu mereka..idulfitri pun belum tentu bisa bersua..

Dan kini...hati kecilku rindu ...rindu dengan sahabat2 yang dulu slalu berbagi suka dan duka..:). Aku rindu mereka...orang2 yang mendewasakan dirinya dihidupku dan aku bebas berekspresi tanpa beban...mereka slalu ada dan slalu ringan hati tuk membantu...
Tapi itu dulu ketika aku belum mengertin konsep ”hijab’....
Dan saat ini aku bersyukur atas apa yang telah ALLOH karuniakan untukku...
Dan aku ingin cahaNYA tetap menerangi hati ini sampai nanti..sampai mati...amiiin.

Rabby….sampaikan juga salam rinduku untuk mereka...
Rabby…bagikan cahayaMu untuk mereka, sebagaimana yang telah Engkau berikan untukku…amiiin.

Akhirnya malam ini kututup hariku dengan kembali membuka puisi sahabat2ku itu
Yang mereka kirimkan di hari miladku kemarin......:

Saat qta melangkah menjelajah….
Kelelahan mewarnai kebersamaan…
Namun indah..kini asa..membuat qta berbeda ..
Dan di jalan yang berbeda…

Namun, ingatkan sobat...?
Saat qta melepas tawa di udara dan menatap langit malam
Yang menyatukan qta di bawah hangatnya rembulan...
Kemudian candamu tak lekang oleh waktu,
Menangis bersama....
Itulah nirwanaku...
Kau lah bagian dari warna hidupku....
Sesungguhnya kau tak kan pernah ku lupakan...


Ya Alloh...aku benar2 menangis membacanya.....
Semoga bukan sebuah ”salah” ketika malam ini , aku harus mengenang mereka dalam tangis...Astagfirullah........


Awal September 2007,
di penghujung malam...saat burung terang bulan tak kunjung henti bernyanyi....

Maaf kan....

“Eh, 2 teman ikhwan kita tuh memang berbeda jauh ya???” aku mulai membuka percakapan dengan salah seorang teman akhwatku, sembari menemaninya berjalan menuju tempat kostnya, pagi hari sepulang acara mabit khusus pengurus mushola. Namanya Yanti. Ia adalah teman seperjuanganku. Kami sama-sama aktif di organisasi mushola fakultas, demikian juga dengan kedua ikhwan tersebut. ”Beda gimana?? Apanya??” . Ia menanggapinya antusias.

”Ya, Beda. Meski sama-sama punya kafaah dan kepahaman yang sama dan sama –sama kita akui komitmen dakwahnya, sama-sana sudah ditokohkan di kampus kita, sama-sama capable ngisi kajian dan training lainnya. Tapi, karakter mereka sangat berbeda. Ikhwan A , suyukh (ustad bgt), ghadul bashar (menjaga pandangan) banget, jangan –jangan sama kita aja, ia ga kenal wajahnya, paling Cuma kenal suara dan warna bajunya. Trus penampilannya sederhana banget, sepeda tua dan tas tuanya adalah wujud kesederhanaannya. Tapi meski selalu bersepeda tapi semangatnya jg selalu terpancar di wajahnya.” Yanti cuma mesem-mesem menyimak hasil analisisku selama 2 semester awal ini dan seringkali mengangguk untuk mengiyakan statementku.

” Trus ikhwan B, gaul banget, slalu tampil rapi, retorikanya lebih bagus dari ikhwan A. pokoknya penampilan slalu perfect deh. Hampir smua temen-temen ammah kita mengenalinya, bahkan ade-ade angkatan kita banyak yang mengidolakannya. Sikapnya ga’ jauh beda deh sama temen-temen kita yang belum jadi ’ikhwan’. Trus Gadhul basharnya khusus buat akhwat aja. Sementara dengan yang bukan akhwat..duh..biasa banget, hijabnya kurang terjaga. Saya jadi khawatir, kira-kira hatinya terbentengi ga’ ya?? Saya khawatir jika kemudian ia fu.....”

Belum sempat ku selesaikan kalimatku, yanti segera menyenggol bahu kanan ku.

”huss, jangan ngelantur, jangan suudzon dulu. Setiap kita punya karakter tersendiri dan trik-triks dakwah yang berbeda. Nah kekurangan si B justru bisa menjadi kelebihannya. Ia sangat efektif untuk bisa memberikan warna islam pada temen-temen kita yang masih ammah. Maka nya posisi sebagai ketua BEM yang ia jalani sekarang, sangat sesuai dengan karakternya.”

”afwan deh...saya ga bermaksud suudzon, cuma khawatir. Habisnya fenomena kader yang futur kan udah banyak Yan. Saya ga ingin kefuturan menyapa saudara-saudara kita.

Tapi bener juga sih Yan, dengan adanya si B, kita jadi terbantu. Dan temen-temen ammah jadi dekat dengan anak-anak mushola.” Percakapan pagi itu kami tutup dengan sebuah komitmen : untuk saling mendo’akan agar kami semua tetap istiqomah hingga akhir hayat. Dan kuat menghadapi sgala pergolakan hati yang kan slalu menghadang.

Obrolan tersebut terjadi 3 tahun yang lalu, awal kehadiran kami di kampus. Saat semangat berfastabiqul khoirot sedemikian membumbung di hati kami. Saat-saat merasakan manis nya menjalankan amanah-amanah dakwah.

3 tahun perjalanan waktu mampu mengubah segalanya...kekhawatiran itu benar-benar terjadi...kami kehilangan dirinya seorang yang telah memiliki kepahaman yang tinggi dan mobilitas dakwah yang tinggi..ia benar-benar futur...

ia lebih memilih kesemuan cinta. Mengutamakan Cinta dari makhluknya sebelum waktunya...Rabby....tak tergambar lagi ”sedih” di hati ini....

Tak terhitung lagi derai airmata ini...Sedih karna tak mampu menjadi saudara terbaik baginya...Sesal karna tk mampu mendekap hatinya sebelum kepergiannya..Sesal karna tak mampu menahan kepergiannya....

Belum lagi hilang rasa sedih di hati. ini....aku harus kembali menyaksikan kefuturan seorang sahabat....seorang akhwat yang dulu juga slalu menopang semangatku.......yang slalu menemaniku berburu majlis ilmu, yang juga slalu siap membantu dan berbagi amanah da’wah.....airmata itu tumpah kembali....aku tak menyadarinya saat ia sedemikian lemah....aku slalu saja menganggapnya kuat.....ku jarang mengunjunginya saat ia lemah, bahkan tak segera menyapa atau sekedar mengirimkan sms saat ia tak muncul-muncul dalam pertemuan keimanan....aku kembali menyesalinya...aku tak mampu melakukan apapun untuk menahannya tetap di sini. Maafkan aku sahabat..aku slalu mengganggapmu kuat....Alloh ampunilah khilafku..

Dunia ibarat sebuah terminal
Hanya tempat persinggahan
Bersabarlah hadapi ujian
Tak kan lama kan tinggal.....
(by : Saudara Persaudaraan
)

” Ya Alloh yang maha membolak-balikkan hati....tetapkanlah hati kami dalam ketaatan dan dalam agamamu yang lurus.”....amiiin

Midnight, Des 2007, mengenang kepergian saudara-saudariku...
Tetaplah di sini, di satu sudut hatiku, senantiasa ku nantikan hadirmu kembali
Buat Dewi, klo’ Agus futur...ceburin di Sungai Rasau aja...Biar cepetan nyadar bhwa hidup dlm jamaah qta tuh sedemikian indah & tetep indah sampai kapanpun
:)
Buat murabbi, klo’ Agus futur segera jodohkan aja yah....cariin ikhwan yang siap njewer telinga setiap hati ini lalai...:
)

Cantik Itu Lembut

Jumat, 21 Desember 2007

Cantik wajah seorang wanita akan sirna seiring berlalunya waktu. Semua orang tentu sepakat. Namun banyak lelaki sering terlena. Terlarut dalam daya pikat dan pesona kecantikan wajah. Hasilnya apa..? Terlalu banyak kisah-kisah pilu, lara dan mengenaskan terkenangkan dalam hidupnya. Tak usah mencari contohnya, saya sendiri pernah mengalaminya. Tak perlu saya ceritakan lebih lanjut, terlalu sakit. Terlalu tragis. Walaupun begitu, saya tak pernah menyesal dengan pengalaman. Seburuk apapun pengalaman, sepanjang nafas masih ada tentu saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri.


Hari ini, saya mencoba merenungkan kembali pengalaman itu. Jika ingin mendapatkan gambaran menarik tentang bagaimana nasib seorang lelaki yang terlena oleh daya pikat kencantikan wajah semata, bisa berkelana lewat sebuah novel. Sebuah gambaran dan kisah cukup memikat ada dalam novel “Pudarnya Pesona Cleopatra” karya Habibburahman El Sirazy. Kisah ini memaparkan bagaimana seorang lelaki terlampau mengejar kencantikan fisik, padahal disampingnya hadir wanita yang sejati cantiknya, tulus mencinta sepenuh kelembutan jiwa. Lelaki itu gagal mencinta karena hanya melulu terpikat fisik semata. Memang benar pesan di akhir novel, Kang Abik (panggilan akrab Habibburahman) menyirat dedikasi pesan dari sebuah karya itu, pada akhirnya kita (lelaki) memang harus sadar bahwa kecantikan wajah memang bukan segalanya.


Lalu cantik itu apa..?


Perdebatan yang panjang terjadi ketika merumuskannya. Biasanya, akan berakhir pada kesimpulan bahwa cantik itu relatif. Setiap orang bisa memandang dari sudut pandang yang berbeda-beda. Wajah, tentu tak luput dari sorotan, sebuah pesona fisik. Tak bisa dipungkiri. Hanya saja, sentuhan jiwa, pesona jiwa justru menjadi elemen yang penting karena setiap orang bisa mempunyainya. Disini, setiap wanita bisa mempunyainya. Artinya, semuanya wanita bisa menjadi cantik, bisa disebut cantik. Dan…lebih cantik lagi dari hari ke hari.


Titik tekannya sudah jelas. Letaknya ada pada kekuatan soulnya. Menggunakan parameter ini tentu lebih adil, lebih fair ketika memandang dan menyoal kencantikan wanita. Artinya apa, orang yang berwajah biasa saja, tak selalu berkulit putih pun bisa saja disebut cantik karena daya pikat soulnya. Soal soul inilah yang kemudian mendatangkan keterpikatakan tersendiri. Jika berhasil selalu memupuknya, sudahlah pasti akan selalu tumbuh dan langgeng terasakan. Kalau cantik wajah, tentu akan memudar ditelan waktu. Karena cantik ini urusan hati, lantas hati yang seperti apa…?. Ini rumit lagi. Dan bagi saya, punya subyektifitas tersendiri.


Cantik itu lembut…..


Ya, pesona kecantikan wanita terletak pada kelembutannya. Seperti pada kebanyakan kaum lelaki. Dia makluk yang kadang terlalu rasional, berpotensi kasar, angkuh, mudah tersulut ketika mensikapi keadaan. Sifatnya mirip kobaran api. Nah, kelembutan wanita itu ibarat air. Kelembutannya bisa meredakan sifat-sifat tersebut. Akhirnya, bisa mendatangkan keseimbangan dan keserasian hidup. Dengan begitu dia kita sebut cantik.


Namun kelembutan sendiri tak selalu baik, tergantung motifnya. Kelembutan yang penuh kepalsuan, justru akan melahirkan bisikan-bisikan buruk kepada kaum lelaki. Mengapa, sangat jelas. Kelembutan selalu mendatangkan keindahan. Dan setiap wanita suka keindahan. Salah satunya pernah-pernik duniawi. Bisikan kelembutan palsu disertai kemanjaan bisa menghancurkan kehidupan lelaki karena akan melakukan apapun, dengan cara apapun tanpa mengindahkan moralitas, hukum dan norma untuk kebahagiaan wanita yang dicintainya. Dalan sejarah, kaum lelaki hancur karena terlalu memperturutkan kemauan wanita untuk mendapatkan sesuatu dengan balutan kelembutan yang palsu.


Tapi disisi lain, kelembutan itu berpotensi mendatangkan kejayaan. Yaitu kelembutan yang dilandasi dengan semangat transendensi, semangat vertikal kepada Tuhan. Sebuah kelembutan moral dan beraroma religiusitas. Inilah kelembutan hati yang terpancar pada kebaikan akhlak. Dia, berwajahkan senyum manis, bening hati, sederhana dan tak mudah marah. Hasilnya apa, kalau lelaki bisa bersanding dengan wanita demikian, insyallah, lelaki yang awalnya biasa saja kelak akan menjadi sosok yang luar biasa. Sosok seorang pahlawan. Sungguh…

by : Yons Revolta (agustus 2007)
salam hormat, dan salut banget buat mas Yons...angkat topi deh
buat mu...ayo dunk terbitin buku nya..please..
afwan kabiir ..sy ga idzin jg nih...
tp yakin deh..ga bakalan dimarahi..be calm..

Riak Gelombang di Telaga Tua

Bangunan itu tampak lusuh, cat yang memudar dan lumut menyelimuti dinding tuanya. Di sekelilingnya, semak belukar laksana taman bunga yang indah bermekaran. Lirih rintihan tangis, tawa yang sumbang bahkan teriakan menyayat perasaan kadang terdengar hingga kejauhan. Pedih dan tampak suram, menyiratkan perasaan muram penghuninya.

Nanar, dan mata yang menerawang menjadi pemandangan biasa. Tersisih dari regukan kasih sayang, lalu teronggok lemah dalam belenggu kerinduan yang menguliti renta jiwanya. Merenung dan melamun seakan menjadi rutinitas harian, mengingat masa lalu saat meretas masa depan buah hati tercinta.

Tanpa sadar, telaga tua itu berkaca-kaca hingga menimbulkan riak gelombang, jatuh menetes membasahi guratan keriput di wajah. Perlahan, lirih teralun senandung Dodoi Si Dodoi, ... Tidurlah anak tidurlah manja / Tidurlah anak tidurlah sayang / Pejamkan mata mu sayang / Jangan menangis oh intan / Ibu dodoikan hai sayang / Tidurlah intan... seraya tangan bagaikan menggendong buaian.

Tubuh-tubuh sepuh itupun lalu beringsut perlahan menghampiri jendela, berharap leluasa menatap ke jalan. Tak ada yang dinantikan selain kunjungan anak, keluarga atau saudara yang membawa seikat bunga kasih sayang. Saat fajar menggelepar keluar dari peraduan, hingga menghantar kerinduan rembulan yang ingin bercengkerama dengan burung malam, tak satu jua dapat mengusiknya. Lalu mereka pun terlelap dalam rengkuhan kesepian dan kepedihan.

Saudaraku yang kucinta karena Allah,
Menjadi tua pastilah menyapa setiap manusia, termasuk kedua orangtua kita. Saat lanjut usia, perhatian dan kasih sayang kita bagai embun yang akan menelisik lembut, membasahi rongga jiwa mereka. Cinta yang teruntai dari sikap dan kata-kata pun lebih bernilai harganya dari uang serta harta benda. Namun, cepatnya putaran dunia seakan mengasingkan keberadaan kita dengan mereka, hingga Panti Wreda menjadi pilihan saat pikun dan lamban mulai menjangkiti usia senja.

Malu karena pikun dan takut menodai kehormatan keluarga, kadang menjadi alasan pengasingan di usia renta, seakan diri ini hina memiliki orangtua seperti mereka. Padahal hina itu justru saat kita menepiskan mereka di hari tuanya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda, "Semoga terhina, semoga terhina, semoga terhina, orang yang mendapati kedua orangtuanya telah tua, salah satu atau keduanya, tapi dia tidak bisa masuk surga karena keduanya." (HR. Muslim nomor 2551)

Ingatkah kita bahwa Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, jika keluar dari rumahnya selalu berhenti di depan pintu ibunya sambil berkata, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku!" Dan ibunya menjawab, "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, wahai anakku!" Abu Hurairah lalu berkata, "Semoga Allah menyayangimu sebagaimana engkau telah mendidikku di waktu kecil." Maka ibunya berkata, "Semoga Allah juga menyayangimu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepadaku di masa tuaku."

Sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash radliyallahu 'anhu pun pernah bercerita, seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan kemudian berkata, "Aku datang berbaiat kepadamu untuk hijrah, dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis." Mendengar hal itu, Nabi bersabda, "Kembalilah engkau kepada mereka, buatlah keduanya tertawa sebagaimana sebelumnya engkau telah membuatnya menangis." (HR. Abu Dawud nomor 2528 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud nomor 2205)

Duhai jiwa...
Mengapa kau sia-siakan dan lupakan mereka?
Kau dahulukan berbuat baik kepada yang lain dari keduanya
Tidakkah engkau sadar, orang yang berbuat baik kepada orangtuanya nanti akan ditaati pula oleh anak-anaknya?
Kalau kau mendurhakai orangtua, kelak anak-anak pun akan durhaka kepadamu
Tidakkah engkau takut mereka akan memperlakukanmu sebagaimana perlakuanmu kepada orangtuamu?
Sebagaimana engkau bersikap, demikian juga engkau nanti akan disikapi anak-anakmu

Tua, sepuh hingga pikun di kala renta, bukankah itu pasti terjadi pada semua manusia?
Lalu mengapa kehormatan dan harga diri ini lebih berharga dari kasih sayangnya kepada kita?

Ya akhi wa ukhti...
Jangan biarkan pemilik telaga tua itu selalu menanti kehadiranmu
Jangan biarkan pula riak gelombang tersirat di telaga tuanya
Datanglah dengan kasih sayang dan perhatian serta cinta
Sungguh, mereka tak butuh apa-apa
Hanya itu...

Wallahua'lam bi showab.


karya : abu aufa.
(alhamdulillah, akhirnya Alloh memberikan sy kesempatan tuk
bertemu beliau,di kampus tercinta..:)...betapa sblmnya slalu
berdoa tuk bisa bertemu dgn beliau (pak Feryy Hadari).
seorang penulis yang sangat sy kagumi lewat "diary khidupannya"..)
afwan jiddan ya bi..memuat karyanya tanpa idzin..damai aja yah??
ya pasti manfaat buat yg baca yah...

Display hati

Selaksa hati bergumam lirih...
bergetar tanpa henti...
beresonansi syahdu dalam dekap jiwa...
lalu ada kumandang bahagia....
menghantarkan stimulus kalbu untuk sebuah asa..
ku coba mengeja dalam tiap detak jantungku..
tapi tak kutemukan jua jawabnya...

lalu apa????
dari sudut hati tetap bergumam pelan...
resonansinya masih terasa...
lalu bagaimana ku harus mengungkapnya???
atau krna ada kabut yg menutupnya??


Esok kan ku coba lagi mencari jawabnya...
jk itu senandung cinta.....
ku kan syiarkan kpdMU..
agar hati ini terdamaikan oleh-Mu
lalu??
ku minta agar fitrah itu tretap suci..
dan tak setitik pun menodai cinta-Mu..

hingga akhirnya kan ku terbangkan pintaku kpd-Mu...
dalam 1 bait harapku..
" Alloh temukan cintaku pada kalbunya yang suci...
yang jg memuarakan cintanya kpd-Mu..
dan peliharalah cinta kami tanpa batas waktu...
hingga syurga menjadi tempat terindah..yg kan kami jelang..
dalam dekap ridhoMu..." amiin..

Diantara siang dalam beranda perpustakaan
November, 2007

Kiat Mencari Jodoh

Oleh : Ustz Herlini Amran

- Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, supaya muncul suatu ketenangan, kesenangan, ketentraman, kedamaian dana kebahagiaan. Hal ini tentu saja menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup yang memang merupakan fitrah manusia, apalagi pernikahan itu merupakan ketetapan Ilahi dan dalam sunnah Rasul ditegaskan bahwa " Nikah adalah Sunnahnya". Oleh karena itu Dinul Islam mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan dan selanjutnya mengarahkan pertemuan tersebut sehingga terlaksananya suatu pernikahan.

Namun dalam kenyataannya, untuk mencari pasangan yang sesuai tidak selamanya mudah. Hal ini berkaitan dengan permasalahan jodoh. Memang perjodohan itu sendiri suatu hal yang ghaib dan sulit diduga, kadang-kadang pada sebagian orang mudah sekali datangnya, dan bagi yang lain amat sulit dan susah. Bahkan ada kalanya sampai tua seseorang belum menikah juga.

Fenomena beberapa tahun akhir-akhir ini, kita melihat betapa banyaknya muslimah-muslimah yang menunggu kedatangan jodoh, sehingga tanpa terasa usia mereka semakin bertambah, sedangkan para musliminnya, bukannya tidak ada, mereka secara ma'isyah belum berani maju untuk melangkahkan kakinya menuju mahligai rumah tangga yang mawaddah wa rohmah. Kekhawatiran jelas tampak, ditengah-tengah perekonomian yang semakin terpuruk, sulit bagi mereka untuk memutuskan segera menikah.

Gejala ini merupakan salah satu dari problematika dakwah dewasa ini. Dampaknya kaum muslimah semakin membludak, usia mereka pelan namun pasti beranjak semakin naik.

Untuk mencari solusinya, dengan tetap berpegangan kepada syariat Islam yang memang diturunkan untuk kemashlahatan manusia, beberapa kiat mencari jodoh dapat dilakukan :

1. Yang paling utama dan lebih utama adalah memohonkannya pada Sang Khalik, karena Dialah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan (QS.4:1). Permohonan kepada Allah SWT dengan meminta jodoh yang diridhoiNya, merupakan kebutuhan penting manusia karena kesuksesan manusia mendapatkan jodoh berpengaruh besar dalam kehidupan dunia dan akhirat seseorang.

2. Melalui mediator, antara lain :

a. Orang tua. Seorang muslimah dapat meminta orang tuanya untuk mencarikannya jodoh dengan menyebut kriteria yang ia inginkan. Pada masa Nabi SAW, beliau dan para sahabat-sahabatnya segera menikahkan anak perempuan. Sebagaimana cerita Fatimah binti Qais, bahwa Nabi SAW bersabda padanya : Kawinlah dengan Usamah. Lalu aku kawin dengannya, maka Allah menjadikan kebaikan padanya dan keadaanku baik dan menyenangkan dengannya(Hr.Muslim).

b. Guru ngaji (murobbiyah).Jika memang sudah mendesak untuk menikah, seorang muslimah tidak ada salahnya untuk minta tolong kepada guru ngajinya agar dicarikan jodoh yang sesuai dengannya. Dengan keyakinan bahwa jodoh bukanlah ditangan guru ngaji. Ini adalah salah satu upaya dalam mencari jodoh.

c. Sahabat dekat. Kepadanya seorang muslimah bisa mengutarakan keinginannya untuk dicarikan jodoh. Sebagai gambaran, kita melihat perjodohan antara Nabi SAW dengan Khadijah ra. Diawali dengan ketertarikan Khadijah ra kepada pribadi beliau yang pada saat itu berstatus karyawan pada perusahan bisnis yang dipegang oleh Khadijah ra. Melalui Nafisah sebagai mediatornya akhirnya Nabi SAW menikahi Khadijah ra..

d. Biro Jodoh. Biro jodoh yang Islami dapat memenuhi keinginan seorang muslimah untuk menikah. Dikatakan Islami karena prosedur yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Salah satu diantaranya adalah Club Ummi Bahagia.

3. Langsung, dalam arti calon sudah dikenal terlebih dahulu dan ia berakhlak Islami menurut kebanyakan orang-orang yang dekat dengannya (temannya atau pihak keluarganya). Namun pacaran tetap dilarang oleh Islam. Jika masing-masing sudah cocok maka segera saja melamar dan menikah. Kadang kala yang tertarik lebih dahulu adalah muslimahnya, maka ia dapat menawarkan dirinya kepada laki-laki saleh yang ia senangi tersebut (dalam hal ini belum lazim ditengah-tengah masyarakat kita). Seorang sahabiat pernah datang kepada Nabi SAW dan menawarkan dirinya pada beliau. Maka seorang wanita mengomentarinya, "Betapa sedikit rasa malunya." Ayahnya yang mendengar komentar putrinya itu menjawab, "Dia lebih baik dari pada kamu, dia menginginkan Nabi SAW dan menawarkan dirinya kepada beliau."

Sebuah cerita bagus dikemukakan oleh Abdul Halim Abu Syuqqoh pengarang buku Tahrirul Mar'ah, bahwa ada seorang temannya yang didatangi oleh seorang wanita untuk mengajaknya menikah. Temannya itu merasa terkejut dan heran, maka wanita itu bertanya, "Apakah aku mengajak anda untuk berbuat haram? Aku hanya mengajak anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan RasulNya". Maka terjadilah pernikahan setelah itu.

Semua upaya tersebut hendaknya dilakukan satu persatu dengan rasa sabar dan tawakal tidak kenal putus asa. Disamping itu seorang muslimah sambil menunggu sebaiknya ia mengaktualisasikan kemampuannya. Lakukan apa yang dapat dilakukan sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan dakwah. Jika seorang muslimah kurang pergaulan, bagaimana ia dapat mengenal orang lain yang ingin menikahinya.

Barangkali perlu mengadakan evaluasi terhadap kriteria pasangan hidup yang ia inginkan. Bisa jadi standar ideal yang ia harapkan menyebabkan ia terlalu memilih-milih. Menikah dengan orang hanif (baik keagamaannya) merupakan salah satu alternatif yang perlu diperhatikan sebagai suatu tantangan dakwah baginya.

Akhirnya, semua usaha yang telah dilakukan diserahkan kembali kepada Allah SWT. Ia Maha Mengetahui jalan kehidupan kita dan kepadaNyalah kita berserah diri. Wallahu A"lam bishowab. []