~ Untuk Bunda ~

Minggu, 23 Agustus 2009


Andai ku telah dewasa
Apa yang ku persembakan?
kepadamu..idolaku...
.
Andai usiaku berubah…
Ku balas cintamu bunda…pelitaku…
Penerang jiwaku...dalam setiap waktuku...

Oh...oh..ku tau kau slalu berharap
Dalam do’amu ku tau kau berjaga..
Dalam sayangmu ku tau kau mencinta...
Dalam senyummu...

Tuhan aku pinta...
Bahagiakan mereka sepertiku..

Andai ku telah dewasa
Ingin aku persembahkan..
Semurni cinta mu..setulus kasih sayangmu..
Ooo..slalu ku cinta....

I love u, Bunda..
I love u , Ayah...


Lagu Sherina itu terlantun kembali dari radio MQFM Yogya, setelah sekian lama dan sekian tahun tak terdengar di telingaku...Lalu Irama kerinduan itu tertabuh tanpa henti di ruang hatiku..

Ehm..Bunda...
Sungguh tanpamu aku bukan apa-apa...
Dan semua yang telah ku raih kini, adalah jerih payahmu...
Trimakasih yang tak terhingga atas ketulusan, cinta dan pengorbanan.
Semuanya kini telah terukir indah di hatiku..
Sampai kapanpun Bunda akan selalu hidup di sini, di satu sudut hatiku..

Selamat hari lahir Bunda....
Semoga cintaNya akan mengabadi di hatimu...
Semoga Bunda akan menjumpaiNya dengan penuh kebahagiaan..
Dan lalu menempati Istana yang selama ini Bunda impikan......
Amiiiiiiin


Yogya, 23 Agustus 09
Dengan sepenuh cinta...: "Trims yah Bun, telah membersamaiku hingga sebesar ini.."

~ Rindu itu Tertawarkan Sudah ~

Sabtu, 22 Agustus 2009


Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan, Syarrafta yaa syahral qur’an. Selamat datang wahai bulan Ramadhan, Kedatanganmu membawa kemuliaan, wahai bulan Al-Qur’an.
Senja yang ternanti, akhirnya tiba. Senja pertama di bulan Ramadhan. Prosesi penantian panjang telah berujung. Rindu yang selalu menggelayuti jiwa, kini tertawarkan sudah. Hati ini mengharu biru. Luapan rasa syukur menyentak-nyentak kalbu. Rasa itu kini berpadu : bahagia dan haru, senyum bahagia dan tangis kesyukuran. Bahagia karna telah menerima salah satu anugrah teragung dari-Nya : Ramadhan Kariim. Keharuan juga menyeruak jiwa atas kenikmatan usia yang dari-Nya, karena tak sedikit yang harus berpulang pada-Nya ketika ramadhan tinggal terhitung jari. Juga karena Ramadhan kali ini harus saya jalani tanpa keluarga. Hal yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Bongkah kecemasan dan kekhawatiran jika tak bertemu dengan Ramadhan yang penuh berkah ini, kini lebur sudah. Sungguh saya semakin merasakan kasih sayang-Nya. Alloh memperkenan perjumpaan dengannya: bulan training manajemen syahwat, bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh dengan ampunan dosa, bulan yang penuh dengan peluang emas untuk melakukan ketaatan, bulan dilipatgandakannya amal sholeh, bulan jihad dan bulan kemenangan. Alhamdulillah.
Magrib kali ini basah oleh tetes-tetes kesyukuran. Kesyukuran itu juga terlisan lewat hamdalah. Meski sesungguhnya tangis dan tahmid masih jauh dari cukup untuk menerjemahkan kesyukuran itu. Karena sejatinya bentuk kesyukuran terbaik adalah dengan tak mensia-siakan kesempatan agung itu. Dan oleh karenanya tak sedikitpun ingin menyia-nyiakan setiap detik waktu yang akan hadir hingga penghujung ramadhan nanti. Ramadhan kali ini harus menjadi momentum perubahan terbaik. Ramadhan kali ini harus meninggalkan ukiran terindah yang akan teurai dalam laku. Dan hingga uraian laku itu mengabadi sepanjang masa. Semoga....!

Awal Ramadhan adalah awal perjuangan. Berjuang membenahi diri. Berjuang, berjuang dan berjuang !!. Hingga menemukan muara akhir : Kemenangan Hakiki. Dan kemenangan itu tak kan bisa diraih kecuali atas pertolongan dan kehendak dari-Nya. Mengawali ramadhan kali itu, dengan memunajatkan sebait harap pada-Nya.
”Yaa Allah! Jadikanlah puasaku sebagai puasa orang-orang yang benar-benar berpuasa. Dan ibadah malamku sebagai ibadah orang-orang yang benar-benar melakukan ibadah malam. Dan jagalah aku dari tidurnya orang-orang yang lalai.Hapuskanlah dosaku. Wahai Tuhan sekalian alam!! Dan ampunilah aku, Wahai Pengampun para pembuat dosa.” Amiin.
Yogyakarta, 1 Ramadhan 1430 H.

~ Ketika Harus Memilih ~


Dengan sangat hati-hati saya menanyakan sesuatu yang saya tahu pasti bahwa sesuatu yang akan saya tanyakan itu ada hal yang paling sensitif baginya.
“Ma, jika suatu saat saya menikah dan suami bekerja di lain pulau dan saya harus tinggal dengannya, Bagaimana ?”.
Mama tak segera menjawab, diam sejenak seperti memikirkan sesuatu. Ada raut kesedihan yang tiba-tiba hadir di wajahnya.
”Carilah yang dekat, bukankah di sini juga banyak pekerjaan.”
Hanya itu beliau katakan. Jawabannya saya pahami sebagai bentuk keberatannya.

Ketika hal yang sama saya ungkapkan ke Bapak, saya juga mendapatkan jawaban yang senada. Saya mengerti mereka berkenan jika setelah menikah saya tak lagi tinggal bersamanya. Tapi seminimalnya saya masih bisa sering hadir membersamainya. Sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan, jika saya harus tinggal di pulau yang berbeda.

Jauh hari, saat usia saya belum genap 20 tahun, saat saya belum sama sekali terfikir oleh sebuah kata yang penuh konsekuensi ”pernikahan”. Mama sering bercerita banyak hal. Lewat cerita-ceritanya, saya mengerti dan faham bahwa seorang anak ’ragil’ (bungsu) terutama perempuan seyogyanya tidak meninggalkan rumah orangtuanya dan dialah yang kemudian menemani hari-hari senja mereka. Harapannya terhadap saya untuk menemani hari senjanya tersirat lewat cerita-cerinya. Meski secara lisan Mama memang tidak pernah meminta secara langsung. Tapi saya mengerti sekali, dalam hal apapun mama lebih sering meminta sesuatu secara tersirat. Mama tak pernah memaksakan sesuatu terhadap kami : anak-anaknya. Karena sungguh saya selalu mendapati sebagai orangtua yang lebih sering ’mengerti’ dan demokratis.

Dulu sekali, ketika mama marah. Saya hanya bisa tertunduk diam, lalu sebelum mama menuntaskan marahnya, saya segera berlari ke kamar dan lalu menangis untuk sekian lama. Tangis itu meledak bukan karna kesal dengan kemarahannya, tapi justru karna sedih, sedih karna telah membuatnya kecewa. Sedih atas kesalahan yang seharusnya saya lakukan.

Sejak saat itu hingga saat ini, saya selalu berusaha agar tak membuatnya sedih dan kecewa. Meski mungkin dari dulu hingga saat ini ada begitu banyak kekecewaan yang telah saya goreskan di hatinya. Tapi sungguh, sejak saat itu saya juga selalu berusaha memenuhi segala harapnya, sepanjang tak melanggar koridor yang syar’i. Dan juga tentang ’permintaan tersirat’nya itu.

Meskipun karenanya saya harus menguatkan hati untuk mengabaikan lelaki sholeh yang datang, hanya dengan alasan : setelahnya, saya tak bisa ’hijrah’ bersamanya karena pulau kami yang berbeda. Dan saya yakin hal tersebut tidak bernilai apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanannya selama ini. Selama 23 tahun sudah membersamai saya. Selama 23 tahun juga, ia tak pernah punya banyak waktu untuk beristirahat. Dulu dan bahkan hingga kini di usianya yang hampir 60 tahun masih sanggup mengayuh sepeda tuanya menjajakan kue atau buah-buahan hasil kebunnya, mengelilingi pemukiman, menyapa setiap pintu-pintu rumah yang dilaluinya. Mama yang selalu tulus mendoakan kami : anak-anaknya. Ia lah salah satu anugrah terbesar yang saya miliki.

Saya ingat sekali ketika saat-saat dimana saya harus meninggalkan Pontianak untuk kemudian menetap di Yogyakarta selama 6 bulan. Saya merasa berat meninggalkannya. Sebagaimana juga ia begitu berat meninggalkan saya. Wanita yang dipenuhi rasa cinta dan sayang itu melepas saya dengan airmatanya. Saat melihatnya saya hanya bisa berjanji dalam hati : ”Ma, saya hanya akan meninggalkanmu sejenak dan akan segera kembali disisimu, sebagaimana yang selalu engkau harapkan.”

Kini, ketika kembali harus dihadapkan pada dua pilihan : mama atau lelaki asing itu, saya tak kan ragu lagi untuk lebih memilih untuk memenuhi harapannya : membersamainya di hari senjanya. Sungguh saya akan sangat bersyukur, jika Allah menghendaki saya senantiasa hadir di sisinya. Meski jikapun itu terwujud, tak akan pernah sebanding dengan ketulusan cintanya selama ini. Saya mengerti bahwa setelah menikah seorang wanita sepenuhnya milik suaminya. Bukankah itu berarti sebelum menikah ia tetap milik orangtuanya?. Jadi sebelum pilihan itu diambil, maka orangtua sangat layak untuk di prioritaskan. Adakah yang lebih baik dari itu?!. Bukankah ridhonya orangtua adalah ridhonya Allah?.


Yogyakarta, Juli 2009
Ketika dihadapkan kembali pada pilihan itu.

~ Lonceng Kematian ~

Kamis, 20 Agustus 2009


Dini hari, ketika diri masih nyaman berselimut mimpi terbuai dinginnya pagi yang menusuk. Tiba-tiba Hp saya begitu nyaring berdering, mengalunkan irama sebagai tanda panggilan masuk dari No. yang tak saya kenal, Saya segera terbangun, bergegas meraih Hp yang berada tepat di samping tangan kanan saya. Saat itu jam di layar Hp menunjukkan pukul 02.45 Wib. Saya lalu bersegera mengapprove panggilan tersebut

“Assalamualaikum, ini mbak Agus yah?.”
Ternyata seorang wanita, suaranya terdengar sangat lemah dan parau.
“Wa alaikumussalam. Oh iya, benar. Maaf ini siapa yah?”.
Saya tak sama sekali mengenali suara itu.
“Mbak Agus ini Ibunya Dini.”
Suaranya wanita itu semakin parau terdengar. Iya, saya mengenalnya. Beliau adalah ibunya Dini : adik binaan saya di Rohis sebuah SMU di Pontianak. Sudah lama saya tak bersilaturahim dengan beliau dan juga Dini anaknya, tepatnya sejak saya pergi ke Yogyakarta 3 bulan yang lalu. Saya merasa heran atas telfonnya yang sepagi itu. Tapi lalu tanpa jeda yang lama, saya segera menanyakan kabarnya, dengan begitu antusias.

“ Oh Ibu, bagaimana kabarnya sekarang?, Dininya juga apa kabar?..Su...”
Rangkaian kalimat tanya itu belum terselesaikan, dan harus terpotong oleh suara di seberang telfon. Suara itu semakin melemah, tersekat seolah menahan tangis.
“Mbak, sekarang Dini sudah nggak ada, Dini meninggal mbak.”
Deg!!, hati ini tersentak kaget, saya hampir tak mempercayainya. Tapi saya sadar sepenuhnya dan tidak sedang bermimpi.
”Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.”

Hati ini kemudian luruh oleh rasa kehilangan yang teramat sangat. Saya tak lagi dapat membendung lara yang menghempas saya, tangis itupun pecah. Sepagi itu duka menyapa saya. Dini hari ini, DINI SEPTIASI PRATAMI, adinda saya yang pintar dan sholihat, telah pergi menghadap Rabb-Nya, di usianya yang belum genap 17 tahun. Hati saya kembali perih karna saya tak bisa memeluknya, mengecupnya untuk yang terakhir kalinya.

Pagi itu, saya kembali teringat dengan moment perpisahan kami. Saat-saat menjelang kepergian saya ke Yogya. Kami merangkai kebersamaan indah : mengabiskan hari itu ke toko buku dan mensinggahi sebuah masjid terbesar di Pontianak, lalu menutupnya dengan menikmati Es buah bersama hingga senja menjelang. Saya sengaja mendokumentasikan semuanya dengan kamera digital. Saya juga merekamnya dalam sebuah video. Sesuatu yang tak saya lakukan pada orang-orang lainnya yang juga akan saya tinggalkan. Entah mengapa, saat itu hanya moment perpisahan antara saya bersama Dini dan rekan-rekannya yang saya setting sesempurna mungkin. Satu persatu ’salam perpisahan’ mereka saya rekam. Kini saya mengerti kenapa saat itu Alloh menggerakkan saya untuk membuat sebuah video rekaman itu. Saya ingat ’pesan terakhir’nya saat itu : ”Mbak, jangan pernah putus asa yah, dan tetaplah istiqomah sampai kapanpun.”

Dini meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Saya selalu teringat senyum manisnya, dengan jilbab merah jambunya yang menjuntai ke dada, baju merah jambu serta rok kotak merah bata yang ia kenakan terakhir kali kami bertemu. DINI, begitu dini Alloh memanggilnya kembali. Saya yakin Allah lebih menyanyanginya. Saya yakin Dini kini tersenyum bertemu Rabb-Nya.

Dini hari itu, 3 hari menjelang ramadhan Alloh kembali menabuhkan ’lonceng kematian ’ untuk saya. Sebagaimana menjelang ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Lonceng itu selalu menyampaikan pesannya :

”Jangan biarkan waktu demi waktu bertambah. Tapi tidak membawamu pada titik surga. Sebab, itulah sesungguhnya akhir perguliran waktu hidupmu. Itulah titik akhir perjalan waktu. Karena setelahnya, detik, menit, jam, hari, bulan, tahun tidak pernah ada dan tak pernah berarti lagi.

¬ Betapa berharganya nikmat ’usia’ yang Allah berikan. Dan Ramadhan adalah anugrah teragung yang DIA berikan. Tak setiap kita bisa sampai padanya : Ramadhan Kariim. Selamat bagi kita yang diperkenan-Nya kembali berjumpa Ramadhan. Selamat menikmati jamuan ramadhan. Semoga ramadhan ini mampu menghantarkan kita ke syurga-Nya. Amiiin.


Rabu, 19 Agustus 2006.
Melepas kepergian adinda saya : Dini...

~ Ukiran Harap dari Jiwa ~


Berkata Ummu Mu’minin Aisyah ra : “Aku terbangun di pagi hari dan kudapati ilmu, iman dan ibadahku tidak bertambah, maka sesungguhnya pertambahan usiaku adalah kesia-siaan.”

Dua puluh empat tahun telah berlalu…
Setahun kembali telah menghilang dariku..

Rabb, sungguh aku mensyukuri semua nikmat dan karunia-Mu...
Atas semua anugrah terindah yang telah Engkau limpahkan padaku...
Atas cinta dan kasih sayang-Mu yang Engkau titipkan pada mereka,
Orang-orang yang yang hadir dalam hidupku...
Atas do’a Bapak dan Ibu yang selalu mengalir tanpa henti..
Atas rizki-Mu yang tak pernah terputus...
Atas ilmu-Mu yang selalu menaungiku..

Rabb, sungguh aku malu pada-Mu..
Atas setiap detik waktu yang terlalaikan...
Atas setiap kesempatan yang terabaikan...
Atas fitrah hati yang terkotori...
Atas aktifitas diri yang tak terjaga...

Rabb, aku masih hamba-Mu...
Yang hanya bisa mengharap belas kasih dari-Mu...
Sungguh aku memohon pada-Mu...
Atas dosa yang kian menggunung...
Ampuni aku dengan rahmat-Mu...

Rabb..yang maha membolak-balikkan hati..
Tetapkan hati ini pada agama-Mu dan ketaatan terhadap-Mu...
Rabb cintakan aku pada-Mu..
Rindukan aku pada saat-saat perjumpaan dengan-Mu

Jadikanlah indah pada akhir usiaku...
Kembalikan aku padaMu dengan jiwa yang bersih lagi tenang....
Syahid... syahidkan aku di jalan-Mu...
Amiiiiiiin...

14 Agustus 2009
Di 24 tahun usiaku kini.