~ Ketika Anak-anak Menjaga Pandangan ~
Kala dhuha di sebuah saung yang kecil dan sederhana, sebuah ruangan tanpa dinding berukuran 3 x 3 meter. Tempat dimana 8 orang anak-anak kelas 2 SDIT Al-Karima Pontianak menepekuri waktu demi waktu, menikmati proses pembelajaran yang akan mendewasakan akal, jiwa dan hati mereka. Saat itu, sebagaimana hari-hari biasanya, saya sedang membimbing anak-anak menyelesaikan latihan soal yang saya berikan sebagai bentuk evaluasi atas materi pembelajaran yang telah saya sampaikan.
Tiba-tiba Fadhil kecil saya meneriakkan suaranya : ” ibu.....!!, Nada auratnya kelihatan...!!”, sembari memejamkan mata dan menutupi mata dengan kedua tangannya. Teriakan itu lalu segera diikuti oleh teriakan ikhwan-ikhwan kecil lainnya : ”Iya Bu..., rambut Nada keliatan”, gerakan tutup mata pun serempak menghiasi ikhwan-ikhwan kecil itu. Lalu dengan senyum yang tersipu, muslimah kecil yang ada di hadapan saya segera merapikan jilbabnya dan memasukkan satu demi satu helaian rambutnya yang saling berlomba keluar dari jilbabnya yang seringkali lebih longgar dari wajah kuningnya yang mungil.
”udah...., udah nggak keliatan lagi nih..!!” Nada segera mengumandangkan info terupdatenya setelah selesai membenahi jilbabnya. Ikhwan-ikhwan kecil saya pun kompak menghentikan gerakan tutup matanya. Lalu sambil menatap ke arah Nada, dengan bijaknya fadhil kecil saya memberikan sebuah nasehat untuknya : ”Nada rambutnya masih sering kelihatan, besok-besok jangan lagi lah.”
Subhanallah !!. Demi menyaksikan anak-anak dengan sikapnya tadi saya hanya tersenyum, tanpa perlu melibatkan lebih banyak kata. Ada rasa bahagia dan haru yang tiba-tiba menyelusup ke relung-relung jiwa. Bersyukur, anak-anak diusianya yang masih muda telah belajar dan berusaha untuk menjaga matanya.
Itu bukan kali pertamanya fadhil begitu semangat menjaga matanya. Sepekan sebelumnya ketika kami belajar di lapangan footsal, ia juga melakukan yang sama. Saat kami sedang asyik duduk melingkar sembari membahas pelajaran sains. Tiba-tiba fadhil juga menutupkan kedua tangannya ke matanya, sambil berteriak : ”Ibu...auratnya nampak tuh”. Saya dan anak-anak lainnya pun segera melemparkan pandangan ke sekeliling kami. Ternyata jauh di depan fadhil ada seorang ibu beserta seorang anaknya yang sedang mandi di sungai kecil, tepat berada di depan footsal kami. Sebagaimana orang lain, sang ibu tadi hanya menggunakan selembar kain, yang tentu saja dengan telanjang kepala, tangan dan kaki.
”Oh..iya Nak. Yang lagi mandi itu yah Nak? mungkin mereka bukan muslim jadi nggak tau batasan-batasan auratnya, jika begitu fadhil nggak usah lihat ke arah sana lagi ya?!
”mmm...iya Bu...”
Fadhil lalu bersegera membuka kembali matanya dan pembelajaran pun dimulai kembali.
Masih di tempat yang sama, saat fadhil telah menyelesaikan tugasnya, Ia saya izinkan bermain di lapangan footsal itu bersama beberapa temannya yang juga telah menyelesaikan latihan-latihan soal. Sementara saya masih duduk mendampingi dan membimbing beberapa anak-anak yang belum selesai. Fadhil dan teman-temannya berlari-lari di sisi yang jauh dari saya, agar tak mengganggu konsentrasi temannya yang masih asyik menulis.
Beberapa menit berlalu, saya kembali mendengar teriakan Fadhil. ”Ibu....!! Ibu....!!”. Fadhil tampak berlari-lari ke arah saya sembari menutup matanya dengan jari-jari tangannya yang renggang, sehingga saya masih bisa melihat bola matanya yang terbuka di antara jari-jari tangannya yang mungil. Tepat di belakangnya gadis kecil yang berusia 4 tahunan dengan rambut panjangnya yang terurai dan gaun ”you can see” yang anggun berlari-lari mengejarnya. Gadis kecil itu adalah Shinta adiknya Yusril. Yusril adalah temannya sekelasnya Fadhil. Karena rumahnya yang dekat dengan lokasi kami belajar, Shinta pun seringkali mengunjungi kami. Sekedar melihat abangnya belajar atau juga ikut melibatkan diri ketika ada kesempatan bermain bersama, seperti saat itu.
Awalnya saya hanya tersenyum menatap kedua anak itu. Fadhil dan Shinta yang terus berkejar-kejaran. Tapi, demi melihat Fadhil yang begitu, saya segera menghampiri Shinta, memberi sedikit pengertian. Lalu dengan halus dan penuh kehati-hatian saya memintanya untuk segera pulang ke rumah. Shinta menggangguk dan segera beranjak menuju rumahnya. Setelah Shinta berlalu, Fadhil pun melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi menggantungkan di depan matannya.
Sungguh, akhir-akhir ini fadhil begitu semangat menjaga matanya. Ia begitu sering mengingatkan teman-temannya. Melalui Fadhil, Dia kembali mengingatkan saya. Telah banyak nikmat penglihatan yang saya lewatkan begitu saja, tanpa pemaknaan, tanpa hati. Telah banyak nikmat penglihatan yang justru membutakan hati. Astagfirullah. Kini melalui Fadhil, saya kembali belajar menjaga pandangan.
”Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. ”(Qs. As Sajdah : 9)
Medio Februari, 2010