Dini hari, ketika diri masih nyaman berselimut mimpi terbuai dinginnya pagi yang menusuk. Tiba-tiba Hp saya begitu nyaring berdering, mengalunkan irama sebagai tanda panggilan masuk dari No. yang tak saya kenal, Saya segera terbangun, bergegas meraih Hp yang berada tepat di samping tangan kanan saya. Saat itu jam di layar Hp menunjukkan pukul 02.45 Wib. Saya lalu bersegera mengapprove panggilan tersebut
“Assalamualaikum, ini mbak Agus yah?.”
Ternyata seorang wanita, suaranya terdengar sangat lemah dan parau.
“Wa alaikumussalam. Oh iya, benar. Maaf ini siapa yah?”.
Saya tak sama sekali mengenali suara itu.
“Mbak Agus ini Ibunya Dini.”
Suaranya wanita itu semakin parau terdengar. Iya, saya mengenalnya. Beliau adalah ibunya Dini : adik binaan saya di Rohis sebuah SMU di Pontianak. Sudah lama saya tak bersilaturahim dengan beliau dan juga Dini anaknya, tepatnya sejak saya pergi ke Yogyakarta 3 bulan yang lalu. Saya merasa heran atas telfonnya yang sepagi itu. Tapi lalu tanpa jeda yang lama, saya segera menanyakan kabarnya, dengan begitu antusias.
“ Oh Ibu, bagaimana kabarnya sekarang?, Dininya juga apa kabar?..Su...”
Rangkaian kalimat tanya itu belum terselesaikan, dan harus terpotong oleh suara di seberang telfon. Suara itu semakin melemah, tersekat seolah menahan tangis.
“Mbak, sekarang Dini sudah nggak ada, Dini meninggal mbak.”
Deg!!, hati ini tersentak kaget, saya hampir tak mempercayainya. Tapi saya sadar sepenuhnya dan tidak sedang bermimpi.
”Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.”
Hati ini kemudian luruh oleh rasa kehilangan yang teramat sangat. Saya tak lagi dapat membendung lara yang menghempas saya, tangis itupun pecah. Sepagi itu duka menyapa saya. Dini hari ini, DINI SEPTIASI PRATAMI, adinda saya yang pintar dan sholihat, telah pergi menghadap Rabb-Nya, di usianya yang belum genap 17 tahun. Hati saya kembali perih karna saya tak bisa memeluknya, mengecupnya untuk yang terakhir kalinya.
Pagi itu, saya kembali teringat dengan moment perpisahan kami. Saat-saat menjelang kepergian saya ke Yogya. Kami merangkai kebersamaan indah : mengabiskan hari itu ke toko buku dan mensinggahi sebuah masjid terbesar di Pontianak, lalu menutupnya dengan menikmati Es buah bersama hingga senja menjelang. Saya sengaja mendokumentasikan semuanya dengan kamera digital. Saya juga merekamnya dalam sebuah video. Sesuatu yang tak saya lakukan pada orang-orang lainnya yang juga akan saya tinggalkan. Entah mengapa, saat itu hanya moment perpisahan antara saya bersama Dini dan rekan-rekannya yang saya setting sesempurna mungkin. Satu persatu ’salam perpisahan’ mereka saya rekam. Kini saya mengerti kenapa saat itu Alloh menggerakkan saya untuk membuat sebuah video rekaman itu. Saya ingat ’pesan terakhir’nya saat itu : ”Mbak, jangan pernah putus asa yah, dan tetaplah istiqomah sampai kapanpun.”
Dini meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Saya selalu teringat senyum manisnya, dengan jilbab merah jambunya yang menjuntai ke dada, baju merah jambu serta rok kotak merah bata yang ia kenakan terakhir kali kami bertemu. DINI, begitu dini Alloh memanggilnya kembali. Saya yakin Allah lebih menyanyanginya. Saya yakin Dini kini tersenyum bertemu Rabb-Nya.
Dini hari itu, 3 hari menjelang ramadhan Alloh kembali menabuhkan ’lonceng kematian ’ untuk saya. Sebagaimana menjelang ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Lonceng itu selalu menyampaikan pesannya :
”Jangan biarkan waktu demi waktu bertambah. Tapi tidak membawamu pada titik surga. Sebab, itulah sesungguhnya akhir perguliran waktu hidupmu. Itulah titik akhir perjalan waktu. Karena setelahnya, detik, menit, jam, hari, bulan, tahun tidak pernah ada dan tak pernah berarti lagi.”
¬ Betapa berharganya nikmat ’usia’ yang Allah berikan. Dan Ramadhan adalah anugrah teragung yang DIA berikan. Tak setiap kita bisa sampai padanya : Ramadhan Kariim. Selamat bagi kita yang diperkenan-Nya kembali berjumpa Ramadhan. Selamat menikmati jamuan ramadhan. Semoga ramadhan ini mampu menghantarkan kita ke syurga-Nya. Amiiin.
Rabu, 19 Agustus 2006.
Melepas kepergian adinda saya : Dini...