~ Ketika Harus Memilih ~

Sabtu, 22 Agustus 2009


Dengan sangat hati-hati saya menanyakan sesuatu yang saya tahu pasti bahwa sesuatu yang akan saya tanyakan itu ada hal yang paling sensitif baginya.
“Ma, jika suatu saat saya menikah dan suami bekerja di lain pulau dan saya harus tinggal dengannya, Bagaimana ?”.
Mama tak segera menjawab, diam sejenak seperti memikirkan sesuatu. Ada raut kesedihan yang tiba-tiba hadir di wajahnya.
”Carilah yang dekat, bukankah di sini juga banyak pekerjaan.”
Hanya itu beliau katakan. Jawabannya saya pahami sebagai bentuk keberatannya.

Ketika hal yang sama saya ungkapkan ke Bapak, saya juga mendapatkan jawaban yang senada. Saya mengerti mereka berkenan jika setelah menikah saya tak lagi tinggal bersamanya. Tapi seminimalnya saya masih bisa sering hadir membersamainya. Sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan, jika saya harus tinggal di pulau yang berbeda.

Jauh hari, saat usia saya belum genap 20 tahun, saat saya belum sama sekali terfikir oleh sebuah kata yang penuh konsekuensi ”pernikahan”. Mama sering bercerita banyak hal. Lewat cerita-ceritanya, saya mengerti dan faham bahwa seorang anak ’ragil’ (bungsu) terutama perempuan seyogyanya tidak meninggalkan rumah orangtuanya dan dialah yang kemudian menemani hari-hari senja mereka. Harapannya terhadap saya untuk menemani hari senjanya tersirat lewat cerita-cerinya. Meski secara lisan Mama memang tidak pernah meminta secara langsung. Tapi saya mengerti sekali, dalam hal apapun mama lebih sering meminta sesuatu secara tersirat. Mama tak pernah memaksakan sesuatu terhadap kami : anak-anaknya. Karena sungguh saya selalu mendapati sebagai orangtua yang lebih sering ’mengerti’ dan demokratis.

Dulu sekali, ketika mama marah. Saya hanya bisa tertunduk diam, lalu sebelum mama menuntaskan marahnya, saya segera berlari ke kamar dan lalu menangis untuk sekian lama. Tangis itu meledak bukan karna kesal dengan kemarahannya, tapi justru karna sedih, sedih karna telah membuatnya kecewa. Sedih atas kesalahan yang seharusnya saya lakukan.

Sejak saat itu hingga saat ini, saya selalu berusaha agar tak membuatnya sedih dan kecewa. Meski mungkin dari dulu hingga saat ini ada begitu banyak kekecewaan yang telah saya goreskan di hatinya. Tapi sungguh, sejak saat itu saya juga selalu berusaha memenuhi segala harapnya, sepanjang tak melanggar koridor yang syar’i. Dan juga tentang ’permintaan tersirat’nya itu.

Meskipun karenanya saya harus menguatkan hati untuk mengabaikan lelaki sholeh yang datang, hanya dengan alasan : setelahnya, saya tak bisa ’hijrah’ bersamanya karena pulau kami yang berbeda. Dan saya yakin hal tersebut tidak bernilai apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanannya selama ini. Selama 23 tahun sudah membersamai saya. Selama 23 tahun juga, ia tak pernah punya banyak waktu untuk beristirahat. Dulu dan bahkan hingga kini di usianya yang hampir 60 tahun masih sanggup mengayuh sepeda tuanya menjajakan kue atau buah-buahan hasil kebunnya, mengelilingi pemukiman, menyapa setiap pintu-pintu rumah yang dilaluinya. Mama yang selalu tulus mendoakan kami : anak-anaknya. Ia lah salah satu anugrah terbesar yang saya miliki.

Saya ingat sekali ketika saat-saat dimana saya harus meninggalkan Pontianak untuk kemudian menetap di Yogyakarta selama 6 bulan. Saya merasa berat meninggalkannya. Sebagaimana juga ia begitu berat meninggalkan saya. Wanita yang dipenuhi rasa cinta dan sayang itu melepas saya dengan airmatanya. Saat melihatnya saya hanya bisa berjanji dalam hati : ”Ma, saya hanya akan meninggalkanmu sejenak dan akan segera kembali disisimu, sebagaimana yang selalu engkau harapkan.”

Kini, ketika kembali harus dihadapkan pada dua pilihan : mama atau lelaki asing itu, saya tak kan ragu lagi untuk lebih memilih untuk memenuhi harapannya : membersamainya di hari senjanya. Sungguh saya akan sangat bersyukur, jika Allah menghendaki saya senantiasa hadir di sisinya. Meski jikapun itu terwujud, tak akan pernah sebanding dengan ketulusan cintanya selama ini. Saya mengerti bahwa setelah menikah seorang wanita sepenuhnya milik suaminya. Bukankah itu berarti sebelum menikah ia tetap milik orangtuanya?. Jadi sebelum pilihan itu diambil, maka orangtua sangat layak untuk di prioritaskan. Adakah yang lebih baik dari itu?!. Bukankah ridhonya orangtua adalah ridhonya Allah?.


Yogyakarta, Juli 2009
Ketika dihadapkan kembali pada pilihan itu.

3 komentar:

Wara mengatakan...

Curhat yang menyentuh:) jika aku bisa simpan ayah bunda di almari hati, maka sudah ku buatkan lemari jati yang kokoh dan cantik untuk senantiasa bersama jiwa mereka. namun si ragil ini adalah manusia yang dilahirkan demi menuju dan membersamai di surga. Antara rela dan tidak, seluruh amalan adalah tertuju pada mereka. Hingga Ikhlas menjadi asa yang membentang sepanjang kedua pulau.

eno mengatakan...

Sy terharu/tersentuh bc tulisan ukhti. Sy jd ingat dulu selepas SMA pernah merantau 3 thn ke Lampung...Ortu bilang, disela2 doa malamnya beliau sampai menagis mendoakan kepergianku, tp bagaimana dgku padanya.. Smg Allah SWT membalas kebaikan2 orangtua kita. amiiinn

KakuLidah mengatakan...

bagaimanapun cinta bunda kita lebih tulus tanpa balas harap dibanding dengan orang lain yg masih mgharapkan sesuatu dari kita, tidak layakkah bunda kita mengharapkan dekat dengan kita setelah sekian lamanya melimpahkan kasih yg sangat tulus.. Trimakasih sudah membuka gelap menjadi cerah, tetep cmangaaatt!!