Ketika Mas Gagah Pergi

Selasa, 25 Desember 2007

untuk pertama kali membaca cerpen ini aku tak dapat menahan tangis...banjir..
kedua, ketiga ,keempat tetap sama..bahkan untuk kelima kalinya...ketika kubacakan untuk ade2 SMU binaan ku..plus iringan musik kitaro dari laptope ku...aku tetap tak dapat menahan tangis menangis...
subhanalah..mba helvy..isi cerpennya dalem buanget...mudah2an ade2 jadi sadar berjilbab...setelah kajian paling sendu tempo hari..amiiin


Oleh : Helvi Tyana Rosa
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligussaudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semestertujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentusaja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiridari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antarakami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saataku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih.Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendekkata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berartibanyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada sajasedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama.Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercandadengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuatlelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak.Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulangusai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu direstoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga,nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahkusuka membanding-bandingk an teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila,berabe kan?!”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Akucuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar.Apa jawabnya?
“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Maspacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati!He..he..he…”Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Iapunya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Iamoderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulanbelakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenaldirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakankini entah kemana…
“Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh! ” teriakku kesal sambil mengetukpintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama,Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamarMas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi akubisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikum! “seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kokteriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya!”kataku sewot.
“Lho memangnya kenapa?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kitaorang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukanhal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata MasGagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek..,Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supplyyang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasaIndonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambilmembanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagahjadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen,Eric Claptonnya?”
“Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Claptonbelum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengannasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Maspunya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyakmalah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukupjeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktuberjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku isengmengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca bukuIslam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hatimenguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau
kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rokatau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapainsih rambut ditrondolin begitu!”
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yangtomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itusaja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam bajukaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukanGita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering jugaMama menegurnya.
“Penampilanmu kok sekarang lain Gah?”
“Lain gimana Ma?”
“Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan palingsibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana.Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengankemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjangsemi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengansupir kami. “Untung aja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagahlebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocakseperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercandasama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawatisebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikirapa sih maunya Mas Gagah?”
“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye?Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari.“Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”
“Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya,lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orangSunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawaorang Sunda. Apa hubungannya? “
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.”Baca! “
Kubaca keras-keras. “Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demiAllah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanitakecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”
Mas Gagah tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, UstadzAli…,”kataku.
“Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata MasGagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyorpergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia laginuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orangsok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani mendugademikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya barudua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan akuyakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini diaberubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
“Mau kemana Gita?”
“Nonton sama temen-temen. ” Kataku sambil mengenakan sepatu.”Habis MasGagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”
“Ikut Mas aja yuk!”
“Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang begodi sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku keRumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiritablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin samacewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana denganmemakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belumlagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagahmenyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakaingaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
“Assalamualaikum! ” terdengar suara beberapa lelaki. Mas Gagahmenjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya diruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk,lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
“Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?”tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang,Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahalteman-temannya lumayan handsome. Mas Gagah menempelkan telunjuknya dibibir. “Ssssttt.”
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomonginsoal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaabegitu deh!
“Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Tika setengahhisteris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampirsebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you cansee-nya.
“Ikhwan?’ ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?”Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirikkami.
“Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinyasaudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Tikasambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa kan?Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji.Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini.Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orangyang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik danbenar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yangdulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
“Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kitatetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujarTika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…” katakujujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Akusenang kamu mau embicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk,biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
“Mbak Ana?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malahpakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
“Hidayah.”
“Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!”“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!” tegurku ramah. ‘Eh adikMas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!”Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain,Mas?”tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster,kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia.Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu duarak koleksi buku keislaman…
“Cuma lagi baca!”
“Buku apa?”
“Tumben kamu pingin tahu?”
“Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?”desakku.
“Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya. Kugelitikkakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih!”serunya memperlihatkan bukuyang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
“Naah yaaaa!”aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-samamembaca buku “Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.
“Maaas…”
“Apa Dik Manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, iaberbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yangdiabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di duniayang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentanghal-hal-lainnya. Dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahkuyang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaatsambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh.Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecahbelah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadahdengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedangdigorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur berataplangit.”
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyatasangat perasa. Sangat peduli…
“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
“Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah
menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya akudapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu.Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yangdulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo,mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbardigelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikitterpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
“Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu.Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku. Biasanya Papa hanya mencubitpipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Akusempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah.Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan.Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sanaada dalil-dalil
mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalananpulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahandalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dankemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agaraku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulaibisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggakcekakaan. “Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebihdicintai Allah kayak Mama.”
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihatiterus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, jugadikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimanadengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepatsekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
“Ini hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliausenyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gitapakai rok aja udah hidayah.
“Lho! ” Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggakbangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umumini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada diantara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan MasGagah-ku!”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yangdibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua heningmendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayatQuran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas.Aku sempat bingung, “Lho Mas Gagah kok bisa sih?” Bahkan materi yangdisampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyaikondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dantantangannya dalam era globalisasi. “Betapa Islam yang jelas-jelasmengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanyakarena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagaiidentitas
Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islamitu sendiri, ” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumahTika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempathisteris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nantisore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnyamemakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untukpersiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku. Kubayangkan ia akanterkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang membericeramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundangteman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu MasGagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang. ” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep diRumah temannya, atau di Mesjid. “
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini.”Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangensekali sama Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa. Tanganku sibukmerapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluhmalam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma.” Duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belumjuga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatkumemakainya.
“Kriiiinggg! ” telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,”Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?”
“Ada apa, Pa.” Tanya Mama cemas.
“Gagah…kecelakaan… Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaahhhh! !!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas. Tak lama kamisudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangisberangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki,tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah trukmenghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewasseketika sedang Mas Gagah kritis. Dokter melarang kami masuk ke dalamruangan.
” Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat sayapakai jilbab ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yangkhusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku.“Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Airmataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuandinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yangbiasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yangmanis. Mas..Gagah…” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICUkini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yangmenunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terusberdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh MasGagah…umat juga.”
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Iasudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi..”
“Gita…” suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya.Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.”Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskanharapanku!.
“Mas…ini Gita Mas..” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkansesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab,kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir…Mas.” Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagahyang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi..ta…” Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
“Gita di sini, Mas…”Perlahan kelopak matanya terbuka.
“Aku tersenyum.”Gita… udah pakai…jilbab…” kutahan isakku. Memandangkulembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatuseperti hamdallah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat iaberusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidakbisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaatkulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemuiMas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkankami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapisebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisamendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengansenyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. “Sebut nama Allahbanyak-banyak… Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudahpasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup,tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan MasGagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yangterbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa. .llah…Muham… mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagahpelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyummenghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dinginitu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kamirela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhirongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh,ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku.Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dikmanis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini.Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanyatiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamaryang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”
“Kok nanya gitu sih?”
“Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?”
“Ganteng kan?”
“Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong, jihad itu…”
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu.Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamatjalan Mas Gagah!
wassalam,

0 komentar: