~ Saat kabut itu menyelimuti hatinya ~

Senin, 23 Februari 2009



~ Saat Kabut itu menghiasi hatinya ~


Pagi hari di antara suasana mengajar di sekolah, ada panggilan no.hp asing di Hp saya. “Assalamualaikum…”
“Wa alaikumsalam”
“ Maaf ini siapa??, ada yang bisa dibantu??”
”Benar ini Agus Triningsih??”
mendengar suara itu, saya seperti mengenalnya...suara yang tak asing bagi saya...
”Iya benar...ini siapa?”
”Agus....ini Wita.....”
”Hah...Wita Ramadani??” ( bukan nama sebenarnya red,)
”Iya Wita Ramadani..., Agus..., Wita kangen baanget...bisa ga’ kita ketemuan??”
”Witaaaaaaa........kemana aja sih?? Sama...kengen juga nih....., Ketemuan?? Boleh banget...jam 1 siang Agus tunggu di Rumah yah...??”
sebenarnya jam 1 hingga jam 3 ada pekerjaan sekolah yang harus saya kerjakan, tapi ini masih bisa di siasati, karna alam pekan ini hanya jadwal hari ini yang masih fleksibel sisanya sudah harga mati yang ga’ bisa di rubah-rubah lagi.

Dan akhirnya kami memang sepakat bertemu siang itu. Saya hampir ga’ percaya....semudah itu Alloh mengatur pertemuan itu....padahal dalam 7 tahun ini kami hampir tak pernah ngobrol atau bahkan hanya untuk bertatap muka saja....terkecuali 4 bulan yang lalu kami tak sengaja bertemu di sebuah toko muslim. Tapi...saat itu ia hanya sempat meminta no.hp saya, selanjutnya ia berlalu...berlomba dengan waktu yang hampir senja.

Dia duduk tepat disampingku…ia meluapkan semua gundah di hatinya, meski terkadang ia harus terbata-bata mengungkapkannya sambil menahan tangisnya…meski akhirnya tangis itu tak dapat di bendung lagi, airmatanya itu lebih dari cukup untukmenggambarkan betapa “tak ringan”nya “problema”yang selama ini ia rasakan…
Kadang ia terdiam dalam jeda yang relative lama…seperti sedang berfikir apakah ia harus mengungkapkan semuanya atau membiarkan beban itu terantai dalam hatinya……..

lalu saya berusaha menyakinkannya : “ Wita…., ini Agus, aku masih Agus mu yang dulu…Agus masih sama seperti 7 tahun yang lalu saat kita masih di SMA, Agus yang dulu slalu setia menemanimu dalam setiap “lara”mu dan juga “asa”mu, mendengarkan keluh kesahmu, menyimak bait demi bait ceritamu, lalu menyimpannya rapat-rapat dan hanya kita yang tau semua itu…Agus masih menyediakan tempat dan ruang hati untuk mu…, percayalah ..ga’ ada yang berubah...,”

Perlahan tapi pasti….ia melanjutkan ceritanya, kadang hujan tangis di matanya semakin deras meski tanpa suara yang mengibakan….saya hanya mendengarkannya, menatap matanya yang selalu basah…mengelus pundaknya yang selalu naik turun karna masih mencoba menahan tangis….

Hingga akhirnya ia menuntaskan semuanya….melepaskan semuanya yang telah “menggulanakan” hatinya… Semua yang selama ini tertahan...

Meski telah 7 tahun kami terpisah oleh jarak, dan waktu tak lagi memberi kami ruang untuk bersama…tapi sungguh 7 tahun juga, saya merasa kehilangannya. Rumahnya begitu jauh untuk di tempuh, dan saya tak cukup berani untuk menaiki perahu yang akan menghantarkan saya ke rumahnya. Hanya sekali saja dulu, dulu sekali…itupun karna teman-teman merelakan saya duduk di tengah perahu…mereka mengerti sepenuhnya “takut” yang selalu menggelayuti fikiran saya dulu dan juga sekarang. Karna ketika SMA kami sama-sama tak memiliki HP dan No. Rumah..maka praktis komunikasi kami terputus. Hingga beberapa bulan yang lalu Alloh mempertemukan saya dengannya di sebuah toko. Ia hanya meminta no.Hp saya dan berjanji akan segera menghubungi saya. Iya hari ini ia memenuhi janjinya setelah sekian bulan terlewati.

Wita saya ternyata telah menikah 3 tahun yang lalu dan telah memiliki satu anak (2 thn). Ia menikah dengan laki-laki yang tak sama sekali di cintainya. Hanya ada 2 alasan kenapa Wita menerima lamaran suaminya dulu : 1. karna hutang budi (Wita sudah terlalu sering menerima dan memanfaatkan kebaikan-kebaikannya selama 2 tahun sebelumnya). 2. karna Wita khawatir jika menolak, akan membuat suaminya ”patah arang” (saat itu usia suaminya sudah tidak muda lagi, 14 thn lbh tua darinya).
Akhirnya Wita menguatkan hati untuk menerima lamarannya, dengan harapan waktu akan memberikan ruang untuknya ”menumbuhkan” cinta di hatinya.

Tapi 3 tahun yang berlalu tak sama sekali mewujudkan harapannya. Ia tak sama sekali memiliki rasa itu. Hatinya tak sama sekali ”nyaman” dengan rumah tangga yang telah dibangunnya. Bukan..bukan karena ada laki-laki lain yang dicintainya, bukan juga karena kekerasan yang dilakukan suaminya. Tapi hanya karena suaminya terlalu pendiam. Jika berkomunikasi selalu saja Wita yang memulainya, dan komunikasi-komunikasi yang selalu dibangunnya selalu saja terasa hambar dan sangat terbatas. Ia faham sepenuhnya bahwa laki-laki yang telah menjadi suaminya itu mencintainya sepenuhnya. Tapi cinta itu tak pernah diekspresikan lewat lisannya.

3 tahun, ia tak pernah mendapat pujian dan sanjungan dari suaminya, 3 tahun suaminya tak pernah bercerita tentang masalah-masalah dalam hidupnya kecuali setelah didesak olehnya. 3 tahun ia tak pernah mengajaknya bercanda. Dengan sifat pendiam suaminya, Wita merasa tak diperhatikan bahkan merasa tak dianggap sebagai istrinya, kecuali ibu atas anaknya. Wita tak menuntut suaminya untuk romantis..Wita hanya ingin suaminya memujinya sesekali waktu, berbagi cerita tentang hari-hari yang dijalaninya, dan bisa membuatnya tersenyum dengan candaan ringan sesekali waktu. Itu saja...hanya itu yang sekarang Wita inginkan.

Beberapa kali Wita berusaha mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya atas suaminya. Dan hanya ada satu kalimat dari suaminya : ” Mau gimana lagi, beginilah saya....kamu harus bisa mengerti dan menerimanya ”. Hanya itu...dan ga’ ada perubahan apapun atas sesuatu yang telah Wita usahakan...


Diantara decak kekaguman keluarga dan rekan-rekannya atas keharmonisan rumah tangganya. Sejatinya kini...Wita sedang berjuang melawan hatinya...ia tetap berusaha mencintai suaminya & menjadi istri yang sholeha bagi suaminya. Meski terasa berat baginya. Tak ada yang tau tentang ”beban” nya kini, kecuali saya dan kakak kandungnya. Wita memang berusaha mengesampingkan hati dan perasaannya, demi anaknya dan demi laki-laki pilihannya. Semua permasalahan hatinya kini, ternyata telah menjadi jalan kedekatannya padaNYa. Selama beberapa bulan terakhir ia bahkan tak absen sholat tahajud dan shaum sunnahnya. Penampilan Wita sangat berbeda dengan beberapa bulan yang lalu. Jilbab lebar dan rok panjangnya membuatnya lebih anggun dan keibuan. Sungguh Alloh lebih tau bagaimana membuat hambaNya untuk kembali bersimpuh padaNYa...



Selasa, 17 Februari 2009.
Dengan sepenuh kesadaran bahwa komunikasi tak layak dikesampingkan

2 komentar:

SunDhe mengatakan...

saya sangat terharu membaca kisah tersebut di atas T_T
rasanya begitu kuat seorang wanita (sahabatmu), begitu tegar dia menahan apa yang slama ini slalu jadi resahnya :(

sungguh!! betapa hebat wanita seperti itu.
meski belum juga tumbuh rasa cinta..
tp tak ada kepura2an yang terlihat.
semoga saja apa yang dilakukan tulus adanya.

^_^

Anonim mengatakan...

Reader Say : Allah maha pengasih lagi maha penyayang. Dia tidak akan menyianyiakan umatnya yang berbuat kebaikan. Semoga saja Allah berikan rasa cinta dihatinya, agar mendapatkan kebahagiaan.