~ Sebuah Tanya Dari Anak Kita ~

Kamis, 16 April 2009


~ Sebuah tanya dari anak-anak kita ~

Seperti biasanya, setiap sore sehabis ashar, saya selalu beraktifitas di dapur, mempersiapkan hidangan untuk makan malam sekaligus membuat kue-kue sederhana atau gorengan ala kadarnya. Saya selalu ditemani Latifah, anak saya yang usianya belum genap 5 tahun. Di usianya yang masih dini, Ifah lebih tertarik bermain di dapur bersama saya, daripada bermain di luar. Meski ia lebih sering memperhatikan, terkadang sesekali menakar tepung, mengambilkan air atau hal-hal ringan yang sudah dapat dilakukan oleh anak-anak seusianya. Seringkali juga tangan mungilnya secara tak sengaja menumpahkan gula, memecahkan telur, bahkan memecahkan beberapa piring dan gelas kami. Tak ada kemarahan, tak ada kekecewaan dan tak ada hukuman atas semuanya, karna itu adalah proses pembelajaran yang harus dilaluinya. Dengan penjelasan sederhana, Lambat laun ia akan bisa dan akan lebih berhati-hati.

Sore itu tiba-tiba Ifah menanyakan sesuatu yang sebelumnya tak sama sekali terfikirkan oleh saya.

”Bunda kemarin ayah bilang, tempe buatnya dari kacang kedelai, trus kenapa sih kacang kedelai dinamain kedelai?” Ifah bertanya dengan wajah yang penuh antusias, sembari membolak-balikkan potongan-potongan tempe dengan tangan mungilnya.

”Ehm..kenapa Ifah nanya begitu??”

” Habisnya kan bunda pernah bilang, semua nama punya alasannya, nah kalau kacang hijau, kacang merah, dan kacang tanah, Ifah sudah tau alasannya. Kalau hijau karna warnanya hijau, kacang merah karna warnanya merah, kalau kacang tanah karna memang buahnya ada di dalam tanah.”

Iya... saya ingat beberapa waktu yang lalu ifah menanyakan perihal namanya. Kenapa sih Bunda dan Ayahnya memberi nama Latifah padanya, lalu dengan bahasa yang sederhana saya menjelaskan padanya bahwa kami ingin Ifah menjadi anak yang berhati lembut, karena Latifah itu artinya lembut. Sejak saat itu Ifah mulai sering menanyakan hal-hal yang berkaitan tentang nama seseorang yang dikenalnya bahkan nama-nama benda yang ia temui di sekelilingnya. Bahkan suatu ketika Ifah mengomentari nama saya. Bahwa nama ”agus” itu adalah nama laki-laki. Karna teman-teman saya dan suami saya yang mempunyai nama yang sama dengan saya kesemuanya adalah laki-laki. Ehm..sekecil itu Ifah memang sudah terlihat kritis dalam berfikir. Dan kami bersyukur memilikinya.

”Bun...Bunda..kok Bunda ngelamun jadi ngelamun??”

”Eh ...ga’ kok sayang...Bunda ga’ ngelamun, lagi mikir aja..,Subhanalloh!!, anak bunda makin hebat deh..., tapi maaf yah sayang...bunda juga belum tau jawabannya..”

Sungguh saat itu, saya tidak sama sekali punya jawaban atas pertanyaannya, tidak ada ide yang melintas sedikitpun.

”Yaah..Bunda.., Ifah kan ingin tau jawabannya sekarang juga.”

Ifah menyatakan ekspresi kekecewaannya, jika sedang cemberut begitu, saya justru tertawa dalam hati, karna wajahnya hampir sama persis dengan wajah ayahnya beberapa hari terakhir,saat tugas-tugas kuliah S2 nya menumpuk, hingga menyita waktu istirahat malamnya.

”Iya...Bunda ngerti sayang, tapi anak bunda yang sholihah harus sabar yah..., kita tunggu ayah pulang, siapa tau Ayah punya jawabannya buat Ifah....’

” Oia yah bunda...Ayah Ifah kan hebat yah, kemarin aja ayah ceritain Ifah tentang tanaman-tanaman ajaib.” Binar keceriaan kembali terpancar di wajahnya. Ia tersenyum penuh harapan, saat sedang begitu saya seperti sedang melihat wajah saya pada cermin datar. Senyumnya sama persis.

” Oke deh Bunda, Ifah tunggu Ayah pulang.”

45 menit berselang, semua aktifitas dapur selesai. Kalau sudah begitu pasti Ifah segera mengambil handuk dan peralatan mandinya. Ifah sudah terbiasa mandi sendiri tanpa bantuan saya, dan Ifah juga tak pernah mengganggu aktifitas saya di kamar mandi. Ia akan segera beranjak, jika saya juga telah beranjak dari kamar mandi.

Suara Honda Tiger terdengar memasuki halaman rumah kami, seperti biasanya, Mas Setyo memang selalu tiba di rumah sekitar jam 5 sore. Saya segera membukakan pintu depan, menyambut kedatangan mas Setyo. Demikian juga Ifah, ia akan terlebih dahulu mencium punggung ayahnya, setelah itu Mas Setyo akan segera mengendongnya ke ruang tengah. Bercengkerama dengan putri kecilnya sambil menikmati kue-kue manis buatan saya dan Ifah hingga waktu magrib menjelang.

Sore itu Ifah terlihat begitu lelah, Ia segera tertidur dalam pangkuan Mas Setyo tanpa sempat menanyakan perihal ’kacang kedelai’nya.
***************************************************

Saya dan Mas Setyo sama-sama memahami bahwa setiap anak terlahir dengan berbagai macam fitrah yang telah Alloh karuniakan padanya. Salah satu fitrah tersebut adalah ’Intelectual curiosity’ yaitu rasa ingin tahu yang luar biasa, hal ini ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan nya yang seolah tanpa batas : tanyaaa terus!!. Kami sadar sepenuhnya bahwa ketidaksabaran kami dalam menanggapinya justru akan mematikan keingintahuannya tersebut. Itu juga yang sedang terjadi pada ifah. Kadang terlalu banyak pertanyaan yang di lontarkannya, seolah tanpa henti. Tapi kami selalu berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan penuh kesabaran. Kami ingin Ifah banyak tau tentang segala hal di sekelilingnya. Karena anak dibawah usia lima tahun dapat dengan mudah menyerap informasi dalam jumlah yang luar biasa banyaknya.

Dan saya akui mas Setyo justru lebih sabar menghadapi Ifah, Ia bahkan jauh lebih kreatif daripada saya. Ia punya seribu jawaban dan seribu satu alasan atas setiap pertanyaan putri kecilnya. Tapi sore itu ketika saya menceritakan tentang pertanyaan putri sulungnya, mas Setyo terdiam sejenak dalam senyumnya, lalu mengatakan satu kalimat : ” Iya yah Bunda....., kenapa harus kacang kedelai??, Ayah ga’ punya jawaban untuknya.”
” Hua ...Ayah...?! jadi klo nanti Ifah bangun, terus nanya itu lagi gimana?”

Hari terus beranjak senja, otak kami terus berfikir sibuk mencari-cari jawab atas tanya buah hati kami. Sungguh kami tak ingin mengecewakannya.

”Bunda, coba deh bunda telfon Bu Linda, tanyakan padanya beliau kan guru TKIT, pasti beliau punya jawabannya...”
Spontan saja saya segera menuruti ide Mas Setyo, menanyakan perihal tersebut ke Bu Linda. Tapi saya harus kecewa ketika terdengar suara dari HP saya.

” Wah, maaf yah Bunda Ifah, saya ga’ punya jawabannya karena ga’ ada di kurikulum kami.”

Tepat di depan saya mas Setyo sudah menanti jawaban dari saya.
”Bu linda ga’ tau Yah, katanya ga ada di kurikulum...”
Seketika Mas Setyo nyengir, menahan tawa. ”Wah..moso yang gituan nyarinya di kurikulum toh?...”

”Udah deh bunda, biar ayah yang tanya ama Pak Yusuf, dosen S2 ayah yang barusan nyelesain S3nya di Paris. ”

Malam itu juga mas Setyo segera menghubungi dosennya via handphonenya. Saat itu mas Setyo sengaja meloudspeakerkan Hpnya agar saya juga bisa menyimak jawabannya. Mas Setyo membuka komunikasi dengan sangat sopan dan hati-hati. Percakapan mereka terkesan sangat akrab, tetapi saat mas Setyo menyampaikan pertanyaan Ifah ke Pak Yusuf, suasana berubah seketika.

” Hei, Setyo kamu mau mempermainkan saya?? Mau menguji saya?? Atau kamu ingin tesismu saya persulit??”

Ehm..gawat. Prof. Yusuf salah faham. Saya tidak merasa perlu melanjutnya percakapan antara mas Setyo dan Prof. nya itu. Satu yang pasti, kami belum memiliki jawaban atas pertanyaan buah hati kami. ???!!!

Bumi Alloh, Desember 2015.

**************************************************************

Jika suatu saat anda sebagai orantua dihadapkan pada pertanyaan yang sama, kira-kira jawaban seperti apa yang akan anda berikan untuk Ifah???????


Kamis, 16 April 2009
Ketika sedang berkaca pada hati,
anak-anak seperti apa yang akan terlahir dari diri qta???

1 komentar:

Unknown mengatakan...

di lanjutkan ya mba tulisannya...sudah sempurna menurut saya...he he he :)..tapi ga tau kalau orang yang pandai sastra...:)
Btw...ceritanya untuk 16 tahun ke depan ya?...mudah2an...amin...